Agenda Nyangkem Pinter yang merupakan wadah diskusi anggota GSC ini kembali dilaksanakan pada Sabtu, 17 Desember 2016 di selasar utara Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Acara ini dimulai sejak pukul 09.30 WIB dan dihadiri lebih dari 30 orang anggota GSC dari berbagai biro keilmuan. Terdapat dua buah tema yang diangkat dalam diskusi kali ini, yakni Relokasi Vertical Housing dan Investasi Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia.
Diskusi yang dilakukan terdiri dari tiga sesi, yaitu sesi pemaparan, sesi bidasan dan sesi simpulan.
Peserta yang hadir dibagi menjadi empat stand pihak dalam diskusi ini, yaitu pihak pemerintah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan investor. Secara garis besar, argumen yang diajukan tiap masing-masing stand adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah
Kubu Pemerintah setuju dengan relokasi karena keterbatasan lahan di kota besar, sehingga muncul slum area dan penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Vertical housing berwujud Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) memiliki harga terjangkau dan tidak butuh lahan yang luas. Pemerintah sendiri telah mengatur rencana tata ruang dan mementingkan semua lapisan masyarakat. Pemerintah berjanji akan mengakomodasi semua pihak dan meminta semua pihak untuk bersinergi.
2. Masyarakat
Masyarakat tidak sepenuhnya setuju, karena bangunan tinggi akan membatasi relasi antar tetangga. Vertical housing yang berwujud hotel dan apartemen akan memperparah kesenjangan ekonomi. Alasan masyarakat tidak ingin direlokasi adalah karena sistem perawatan di vertical housing tidak jelas dan bersifat sewa sehingga membebani ekonomi.
3. LSM
LSM tidak menyetujui Vertical housing berbentuk hotel karena bersifat kapitalis, tetapi menyetujui rusunawa asalkan berdasarkan kebutuhan masyarakat kota. Hal ini didasari oleh perilaku investor yang sering membangun tetapi meninggalkan yang dibangun apabila tidak laku. Oleh karena itu, investor harus memperhatikan lingkungan fisik dan sosial karena pembangunan dilakukan untuk kebutuhan, bukan kepentingan.
4. Investor
Investor akan tetap mendirikan vertical housing mengingat keterbatasan lahan yang ada, namun tetap memperhatikan lingkungan. Investor juga meminta masyarakat agar ikut dalam penyusunan dokumen pembangunan karena sebelumnya investor hanya penyedia modal. Liberasi ekonomi di Indonesia dominan. Terkait dengan masalah birokrasi, investor berlepas diri karena bukan ranahnya. Multinational conference sudah ada untuk mengkaji wilayah yang akan dibangun tetapi investor yang diterapkan di sini adalah dengan pendekatan lingkungan. Kota besar merupakan pusat dari kegiatan ekonomi. Hal ini mengakibatkan tingkat urbanisasi tinggi sehingga hunian baru dibutuhkan. Masalah di lingkungan tidak hanya karena perumahan sehingga manusia harus menjaga lingkungan dan tidak hanya menyalahkan bangunan saja. Investor berjanji dalam membangun akan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM.
Investasi Tenaga Kerja Asing di Indonesia
Peserta yang hadir dibagi menjadi empat stand pihak dalam diskusi ini, yaitu pihak pemerintah, pekerja lokal, investor asing, dan akademisi. Secara garis besar, argumen yang diajukan tiap masing-masing stand adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah
Pemerintah memerlukan investor asing terkait penambahan tenaga ahli di Indonesia agar terjadi transfer teknologi sehingga teknologi di Indonesia berkembang. Pemerintah mempersilakan tenaga kerja asing datang ke Indonesia karena merupakan konsekuensi Indonesia bergabung dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan membantu meningkatkan kualitas pekerja lokal, bukan ingin menindas pekerja lokal. Pemerintah juga telah mengeluarkan regulasi yang membatasi masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia.
2. Pekerja lokal
Pekerja lokal bersifat kontra dengan kebijakan tersebut karena tren dunia (globalisasi) dan regional (MEA) bertentangan dengan konstitusi. Kenyataannya, petinggi-petinggi perusahaan di Indonesia adalah pekerja asing, sedangkan pribumi hanya menjadi pekerja rendah. Oleh karena itu, keberadaan pekerja asing akan mengurangi sektor formal di Indonesia. Solusinya adalah perlu dibatasi fenomena brainwash dan harus ada pelatihan untuk pekerja lokal agar dapat bersaing di era yang akan datang.
3. Investor asing
Investor asing akan menanamkan modal di Indonesia dengan menggaji pekerja lokal dengan standar internasional dan tidak akan menindas masyarakat lokal, serta akan membagi hasil dengan pemerintah setempat. Investor asing akan transfer ilmu dan teknologi agar sama-sama untung. Pembagian hasil akan lebih banyak di Indonesia. Kubu ini mencontohkan kasus Blok Cepu, dimana pemasukan Bojonegoro menjadi lebih banyak setelah potensi sumber daya alam digali. Investor asing berharap dapat menjalin kerjasama yang lebih baik lagi di Indonesia.
4. Akademisi
Akademisi bersifat sebagai penengah. Kubu ini setuju dengan opini bahwa investasi TKA memacu akademisi dan pekerja lokal untuk bersaing secara global sehingga pembangunan lokal di Indonesia akan berkembang.
Namun, kubu ini juga menentang karena akan mengurangi jumlah tenaga kerja lokal yang disebabkan oleh kapasitas terbatas. Oleh karena itu, akademisi menyarankan pemerintah untuk meningkatkan kualitas fasilitas agar dapat menunjang akademisi dan pekerja lokal dalam bersaing di tingkat global.
Indonesia masih butuh pembangunan. Namun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI) Indonesia masih medium sehingga masih butuh mempekerjakan tenaga asing, tetapi pemerintah jangan terus membuka keran dalam penerimaan tenaga kerja asing dan memberi persyaratan untuk penerimaan tenaga kerja asing. Pemerintah juga harus memberikan pelatihan-pelatihan kepada pekerja lokal sehingga di masa depan harus dapat mempekerjakan pekerja lokal lebih banyak.