Tanggal 9 Februari tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pers nasional. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya insan pers nasional, Hari Pers Nasional bermakna sebagai sebuah pesta rakyat yang mempunyai pers yang merdeka sebagai salah satu pilar demokrasi. Hari Pers Nasional berawal dari 69 tahun yang lalu dimana saat itu pada tanggal 9 Februari terbentuk Persatuan Wartawan Indonesia di Solo, Jawa Tengah. Setelah pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia, muculah gagasan untuk membuat sebuah perayaan bagi dunia pers Indonesia yang disepakati sebagai Hari Pers Nasional. Gagasan ini tercetus pada saat Kongres ke-16 Persatuan Wartawan Indonesia di Bandung.
Namun, Hari Pers Nasional tidak langsung ditetapkan. Usulan itu bergulir hingga tahun 1981, tepatnya pada saat sidang Dewan Pers di Bandung ke-21. Keinginan penetapan Hari Pers Nasional pada tanggal 9 Februari disetujui oleh Dewan Pers dan kemudian diusulkan kepada pemerintah. Akhirnya pada tanggal 23 Januari 1985, keluar Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985 mengenai Hari Pers Nasional yang ditandangani oleh Presiden Soeharto.
Hingga kini, Hari Pers Nasional masih menjadi perayaan meriah bagi insan pers Indonesia. Pers juga makin berkembang dan makin gemerlap seiring dengan eksistensi media informasi atau media massa dan praktik jurnalisme. Pers, media, serta jurnalisme Indonesia sendiri pernah mengalami masa-masa kelam ketika Orde Baru berkuasa. Meskipun pada masa itu Hari Pers Nasional ditetapkan, tetapi disisi lain kebebasan terhadap pers makin dikekang.
Namun, seiring dengan runtuhnya rezim otoriter tersebut, pers kembali masuk ke dalam era baru, yakni era kebebasan pers. Pers beserta praktik jurnalisme dan media massa mulai menggeliat kembali menghidupkan semangat berdemokrasi di Indonesia. Selepas runtuhnya Orde Baru, banyak media massa swasta baru bermunculan baik cetak maupun visual. Maraknya pembentukan korporasi-korporasi media massa, membuat praktik jurnalisme dan pers makin diminati.
Lantas bagaimana pers, jurnalisme, dan media saat ini berjalan setelah menemui kebebasannya kembali? Diera kebebasan ini, ternyata pers dan media masih belum benar-benar bebas. Apa yang selama ini dicita-citakan oleh para insan pers dan media belum terwujud karena saat ini tongkat estafet kekuasaan justru beralih ke kaum oligarki.
Kaum oligarki saat ini menguasai industri media yang berkuasa merumuskan percakapan jutaan warga Indonesia. Media hanya bekerja dengan bersandar pada kepentingan pasar dan pemilik modal. Alhasil, produk yang dihasilkan oleh media berupa informasi yang diinginkan pasar, bukan apa yang diinginkan publik. Pers pun akhirnya dipaksa hanya menuliskan informasi yang dikehendaki pasar serta pemilik media.
Kemudian, di era otonomi daerah seperti saat ini, pers-pers dan media massa terutama media cetak telah banyak terbentuk di tiap daerah. Banyak pihak menganggap jika pers daerah dapat memberikan semangat demokratisasi hingga daerah. Sayangnya semangat kedaerahan yang dibawa oleh pers daerah terasa bias. Banyaknya media massa lokal yang merupakan hasil kerjasama dengan media nasional menjadikan pemberitaan pers daerah terjebak pada isu-isu nasional. Kepentingan, konflik, serta permasalahan nasional mempunyai porsi pemberitaan lebih banyak ketimbang pemberitaan di daerah. Oleh karena itu media daerah seringkali mengalami bias dengan kepentingan nasional.
Media menjadi wadah bagi wartawan untuk menyebarkan informasi yang ada, salah satunya informasi mengenai bencana. Kita sendiri tahu jika Indonesia adalah negara dengan intensitas bencana yang tinggi, namun masih rendah dalam mitigasi kebencanaan. Tidak jarang, liputan wartawan di media massa menggambarkan betapa banyak korban berjatuhan akibat bencana yang melanda. Peran pers dalam memberitakan kejadian bencana cukup besar mengingat informasi yang disampaikan pers melalui media massa sangat membantu berbagai pihak dalam mengetahui bencana yang terjadi serta perkembangannya. Pemberitaan media dalam mitigasi bencana tersebut dapat mengurangi dampak bahaya bencana.
Putra (2006) dalam makalahnya berjudul Media dan Agenda-Agenda Pemberdayaan Pasca Bencana, menganalisis dua hal yang menjadi penyebab media begitu besar peran dan perhatianya terhadap segala bentuk bencana. Pertama, bencana biasanya menciptakan situasi yang tidak pasti (uncertainty). Dalam situasi seperti itu, rasa ingin tahu masyarakat akan memuncak dan mereka akan berusaha mencari tahu jawabannya. Komunikasi terjadi karena orang ingin mengurangi ketidakpastian. Kedua, bencana bagi media merupakan sebuah even besar yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Sebagai suatu even, bencana memiliki daya tarik yang luar biasa tanpa harus direkayasa. Bencana sendiri sudah mengandung unsur dramatik bukan buatan. Dengan kata lain, bencana memiliki nilai berita yang sangat tinggi bahkan mirip dengan sebuah cerita fiksi lengkap dengan unsur-unsur pendukungnya, seperti alur dramatik, problematika, solusi, dan aksi-reaksi yang muncul dari berbagai karakter manusia.
Akan tetapi, diantara liputan tersebut kadang kala kita masih melihat peliputan yang kurang pas terhadap kejadian bencana. Wartawan atau pers seringkali berlebihan dalam hal liputan berita bencana. Mereka tidak jarang melakukan liputan pada saat evakuasi yang justru membahayakan diri mereka sendiri. Kita banyak melihat wartawan yang meliput bencana erupsi gunung api pada saat gunung tersebut sedang mengalami erupsi. Peliputnnya pun berada pada jarak yang tidak aman. Dengan menumpang petugas evakuasi, mereka bisa masuk ke dalam wilayah berbahaya tanpa persiapan yang matang. Seharusnya para wartawan terlebih dahulu mendapatkan pelatihan mitigasi bencana agar pada saat mereka meliput langsung di tempat kejadian, sehingga mereka dapat melindungi diri mereka sendiri.
Bencana alam bagi media massa meupakan materi informasi yang cukup penting dan krusial mengingat nilai berita yang dihasilkan dari bencana alam sangatlah tinggi. Selain memberitakan kondisi bencana yang terjadi, sebagian besar media, terutama televisi dapat berperan sebagai agen sosial yang membantu mengumpulkan bantuan kemanusiaan dari para penontonnya. Selain melakukan penggalangan dana publik, terkadang media televisi ini juga membuka posko bantuan serta melakukan siaran langsung di lokasi terjadinya bencana alam. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat, media memiliki posisi strategis untuk mengumpulkan aktivitas pengumpulan dana kepada calon donatur.
Dalam tulisannya yang berjudul Metro TV Effect, Samiaji Bintang mencoba mengkritisi media massa yang terlibat dalam penggalangan dana untuk korban bencana. Ia menuliskan jika media massa seperti Metro TV dan TV One mencoba membuat tayangan yang menyedot rasa empati dan air mata para penontonnya yang berada di luar wilayah yang dilanda bencana. Teori “CNN Effect” mampu menjelaskan dampak yang ditimbulkan media saat meliput berita kebencanaan. CNN Effect merujuk pada dampak yang ditimbulkan atas liputan media CNN mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat menjelang akhir masa perang dingin.
CNN dalam pemberitaannya telah mampu menimbulkan efek yang besar hingga pemerintah Amerika ikut campur tangan dalam urusan tersebut. CNN Effect ini juga dapat digunakan dalam pemberitaan bencana alam yang bisa meningkatkan sumbangan publik. Media massa seperti TV One dan Metro TV tampaknya mengikuti teori CNN Effect pada saat terjadi bencana, misalnya bencana tsunami Aceh. Selama berbulan-bulan kedua media massa tersebut mengabarkan kondisi terkini ditempat kejadian. Menampilkan kerusakan yang terjadi, banyaknya korban tewas, dan cerita-cerita kesedihan akibat tsunami. Rasa empati dan solidaritas masyarakat pun makin tergugah. Hal ini dimanfaatkan oleh Metro TV untuk membuat program acara bertajuk Indonesia Manangis yang digunakan pula untuk menampung sumbangan dari para penonton. Tidak mau kalah dari Metro TV, TV One yang merupakan pesaing dari Metro TV mengikuti cara Metro TV dalam menggalang dana bantuan. TV One mengajak pemirsanya untuk mendonasikan kelebihan pendapatannya untuk menolong para korban bencana lewat program Satu Untuk Negeri.
Alih-alih mengarahkan pemirsa untuk memberikan bantuannya pada lembaga bantuan professional seperti Palang Merah Indonesia, kedua media justru mengajak masyarakat untuk menguirim dana bantuan lewat rekening perusahaan. Dana yang telah terkumpul barulah diberikan kepada korban yang terdampak bencana.
Walaupun terlihat baik dan membuat wajah media terlihat dermawan, sebenarnya keterlibatan media dalam menggalang dan menyalurkan bantuan kemanusiaan berisiko mengurangi independensi media. Media massa sejatinya merupakan pengawas dari segala kegiatan yang dilakukan. Dalam hal ini mengawasi, melaporkan, dan memastikan dana bantuan kemanusiaan tersebut sampai atau tidak ke tangan korban, bukan malah ikut terlibat mengumpulkan dan menyalurkannya. Media juga berperan dalam mengawasi proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
We have an obligation to protect this watchdog freedom by nt demeaning it in frivolous use or exploiting it for commercial gain, tulis Kovach dan Rosentiel dalam Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2002). Meski menampilkan informasi yang aktual, pada akhirnya pemberitaan bencana yang intensif hanya digunakan sebagai trik mendongkrak popularitas dan prestise stasiun televise.